يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ
كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُّبِينٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Ugama Islam
(dengan mematuhi) segala hukum-hukumnya; dan janganlah kamu menurut jejak
langkah Syaitan; sesungguhnya Syaitan itu musuh bagi kamu yang terang nyata.
O ye who believe! Come , all of you , into submission ( unto Him ) ; and
follow not the footsteps of the devil . Lo! he is an open enemy for you .
TAFSIR NURUL IHSAN
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ
كَآفَّةً
Hai segala orang yang mu’min masuk oleh kamu pada agama Islam itu
sekelian hukum syariatnya dan tinggal oleh kamu daripada syariat Musa yang
menyalahi bagi hukum Islam
وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
Dan jangan kamu ikut akan segala jalan Syaitan dengan pecah-pecah hukum
agama ikut setengah setengah
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Bahawasanya syaitan itu bagi
kamu seteru yang nyata.
TAFSIRAN YANG LAIN
- Apa maksud dari surat Al-Baqarah: 208 tersebut?
- Apa makna “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan” dalam QS. Al-Baqarah: 208 tersebut?
- Apakah makna “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan” berarti bermakna “masuklah salah satu jama’ah dari jama’ah Islam”?
- Apa makna “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan” dalam QS. Al-Baqarah: 208 tersebut?
- Apakah makna “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan” berarti bermakna “masuklah salah satu jama’ah dari jama’ah Islam”?
Tinjauan Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208)
Seandainya kita mencoba mentadabburi ayat tersebut secara sepintas,
maka kandungan yang bisa kita ambil dari ayat tersebut adalah:
1. Orang yang diseru pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman.
2. Ayat tersebut berupa anjuran kepada orang yang beriman untuk memasuki Islam secara keseluruhannya dan tidak parsial.
3. Ayat tersebut berupa anjuran kepada orang yang beriman untuk tidak (baca: larangan) mengikuti langkah-langkah syaithan.
4. Perintah menjadikan syaithan sebagai musuh bagi orang-orang yang beriman.
1. Orang yang diseru pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman.
2. Ayat tersebut berupa anjuran kepada orang yang beriman untuk memasuki Islam secara keseluruhannya dan tidak parsial.
3. Ayat tersebut berupa anjuran kepada orang yang beriman untuk tidak (baca: larangan) mengikuti langkah-langkah syaithan.
4. Perintah menjadikan syaithan sebagai musuh bagi orang-orang yang beriman.
Tinjauan Asbab An-Nuzul
Seandainya kita coba menelaah
Kitab Asbab An-Nuzul yang berkenaan dengan ayat tersebut, maka kita
akan mengetahui bahwasannya–dalam satu riwayat–ayat tersebut berkenaan
dengan sekelompok kaum Yahudi yang menghadap Rasulullah SAW yang hendak
menyatakan keimanannya, namun disamping itu mereka pun (orang-orang
Yahudi tersebut) meminta pula kepada Nabi SAW agar dibiarkan merayakan
hari Sabtu dan mengamalkan Kitab Taurat pada malam hari. Mereka
menganggap bahwa hari Sabtu merupakan hari yang harus dimuliakan, dan
Kitab Taurat adalah kitab yang diturunkan oleh Allh SWT juga. Oleh
karena itu, berkenaan dengan peristiwa tersebut, maka turunlah ayat
tersebut di atas, yang merupakan perintah agar tidak mencampur-baurkan
agama. Di antara orang-orang Yahudi yang menghadap kepada Nabi itu
adalah: Abdullah bin Salam, Tsa’labah, Ibnu Yamin, Asad bin Ka’ab, Usaid
bin Ka’ab, Sa’id bin ‘Amr, dan Qais bin Zaid (Diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir yang bersumber dari Ikrimah).
Tinjauan Tafsir
Berkenaan dengan surat tersebut, Sayyid Quthb dalam Fi-Zhilalil
Qur’an mengatakan, “Ketika menyeru orang-orang yang beriman agar masuk
ke dalam kedamaian (Islam) secara total,
Allah SWT memperingatkan mereka dari mengikuti langkah-langkah
syaithan. Petunjuk atau kesesatan. Islam atau jahiliyah. Jalan Allah SWT
atau jalan syaithan. Petunjuk Allah SWT atau kesesatan syaithan. Dengan
ketegasan seperti ini seharusnya seorang muslim bisa mengetahui
sikapnya, sehingga tidak terombang-ambing, tidak ragu-ragu, dan tidak
bingung di antara berbagai jalan dan dua arah.
Sesungguhnya di sana tidak ada beraneka ragam manhaj yang harus
dipilih salah satunya oleh seorang Mukmin, atau dicampur aduk salah
satunya dengan yang lain. Tidak! Sesungguhnya orang yang tidak masuk ke
dalam kedamaian (Islam) secara total, orang yang tidak menyerahkan
dirinya secara murni kepada pimpinan Allah SWT dan syari’at-Nya, orang
yang tidak melepaskan semua tashawwur (konsepsi), manhaj dan syari’at
lain, sesungguhnya ia berada di jalan syaithan dan berjalan di atas
langkah-langkah syaithan.
Di sana tidak ada solusi tengah, tidak ada manhaj gado-gado,
tidak ada langkah setengah-setengah! Di sana hanya ada kebenaran dan
kebathilan. Petunjuk dan kesesatan. Islam dan jahiliyah. Manhaj Allah
atau kesesatan syaithan. Allah SWT menyeru orang-orang yang beriman pada
bagian pertama untuk masuk ke dalam kedamaian (Islam) secara total; dan
memperingatkan pada bagian kedua dari mengikuti langkah-langkah
syaithan. Kemudian hati dan perasaan mereka tersadar dan rasa khawatir
mereka tersentak dengan peringatan tentang permusuhan syaithan terhadap
mereka tersebut. Permusuhan yang sangat jelas lagi gamblang, yang tidak
akan pernah dilupakan kecuali oelh orang yang lengah, sedangkan
kelengahan memang tidak pernah terjadi bersama keimanan (Quthb, 2000:
486-487).
Sementara Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan, mengenai firman
Allah SWT ‘ud khuluu fissilmi’, Al-’Aufi mengatakan bahwasannya maknanya
adalah ‘Islam’ (Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thawus,
Adh-Dhahak, Qatadah, As-Suddi, dan Ibnu Zaid), sementara Adh-Dhahak
mengatakan ‘ia bermakna ketaatan’ (Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, dan Rabi’ bin Anas).
Mengenai firman-Nya ‘kaafah’, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abul ‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’ bin
Anas, As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Qatadah, dan Adh-Dhahhak mengatakan
‘maknanya berarti jami’an (keseluruhan)’, sementara Muhahid mengatakan,
“Artinya, kerjakanlah semua amal shalih dan segala macam kebajikan.”
Oleh karena itu, makna keseluruhannya adalah bahwa mereka seluruhnya
diperintahkan untuk mengerjakan semua cabang iman dan syari’at Islam,
yang jumlahnya sangat banyak, sesuai dengan kemampuan mereka.
Pendapat Bathil
Berkenaan dengan ayat tersebut di atas, ada pendapat bathil yang
dikatakan oleh sebagian orang bahwasannya ayat tersebut merupakan dalil
untuk memasuki salah satu jama’ah Islam. Mereka mengatakan maksud dari
“masuk Islam secara kaafah” berarti “seluruh kaum
muslimin harus memasuki jama’ah mereka”, mentaati Imam mereka, mentaati
tashawwur dan manhaj organisasi (baca: jama’ah) mereka–dan bukannya
tashawwur dan manhaj Islam; bukannya memasuki Islam secara total (baca:
kaafah); bukannya mengamalkan seluruh dalil baik yang berkenaan dengan
perintah Allah SWT ataupun larangan-Nya; bukannya mengikuti Nabi-Nya
yang merupakan al-qudwah fii latbiiq ar-risalah.
Bukan hanya itu, merekapun mengklaim hanya merekalah yang benar-benar ‘suci’ sedangkan selainnya (baca: di luar
jama’ah mereka) masih berada dalam kubangan jahiliyah. Padahal–setelah
kita baca beberapa tinjauan di atas–ayat tersebut berkenaan dengan
orang-orang Yahudi yang hendak menyatakan keimanannya yang tidak
mencampurkan yang haq dengan yang bathil (meski kaum mukminin tersebut
berada di luar jama’ah mereka).
Itulah sebagian dari pendapat mereka berkenaan dengan ayat tersebut di atas.
Kesimpulan
Dari beberapa bahasan di atas, kita dapa enyimpulkan bahwasannya:
1. Khittab ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi yang hendak menyatakan keimanannya kepada Nabi, akan tetapi mereka masih tetap ingin mencampur-adukkan yang haq dengan kebathilan. Ayat tersebut tidak berbicara tentang orang-orang yang beriman yang sudah benar-benar dengan keimanannya untuk tidak mencampur-adukkan yang haq dengan yang bathil. Akan tetapi, bagi orang-orang yang beriman yang belum sebenarnya beriman (baca: masih mencampur-adukan ajaran Islam dengan ajaran nenek moyang) maka kthittab ayat ini pun mengenai mereka.
2. Ayat ini merupakan tolok ukur pemisahan antara jalan yang haq (baca: Islam) dengan jalan bathil, jalan Islam dengan jalan syaithan, dan bukannya antara konsepsi jama’ah yang satu dengan konsepsi jama’ah yang lain yang merupakan bagiand ari jama’ah kaum muslimin.
3. Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil sebagai ajakan untuk memasuki salah satu jama’ah kaum muslimin, akan tetapi ia bisa dijadikan dalil sebagai ajakan untuk memasuki kepada Islam (baca: bukan kepada jama’ah) dan keluar dari jalan kebathilan dan kejahiliyahan (baca: jalan selain Islam–dan bukannya dibaca: jalan yang ditempuh jama’ah-jama’ah kaum mukminin), karena jalan-jalan selain Islam merupakan jalan syaithan yang harus kita jauhi sebagai seorang muslim. Oleh sebab itu, manhaj Islam tidak sama dengan manhaj jama’ah
1. Khittab ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi yang hendak menyatakan keimanannya kepada Nabi, akan tetapi mereka masih tetap ingin mencampur-adukkan yang haq dengan kebathilan. Ayat tersebut tidak berbicara tentang orang-orang yang beriman yang sudah benar-benar dengan keimanannya untuk tidak mencampur-adukkan yang haq dengan yang bathil. Akan tetapi, bagi orang-orang yang beriman yang belum sebenarnya beriman (baca: masih mencampur-adukan ajaran Islam dengan ajaran nenek moyang) maka kthittab ayat ini pun mengenai mereka.
2. Ayat ini merupakan tolok ukur pemisahan antara jalan yang haq (baca: Islam) dengan jalan bathil, jalan Islam dengan jalan syaithan, dan bukannya antara konsepsi jama’ah yang satu dengan konsepsi jama’ah yang lain yang merupakan bagiand ari jama’ah kaum muslimin.
3. Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil sebagai ajakan untuk memasuki salah satu jama’ah kaum muslimin, akan tetapi ia bisa dijadikan dalil sebagai ajakan untuk memasuki kepada Islam (baca: bukan kepada jama’ah) dan keluar dari jalan kebathilan dan kejahiliyahan (baca: jalan selain Islam–dan bukannya dibaca: jalan yang ditempuh jama’ah-jama’ah kaum mukminin), karena jalan-jalan selain Islam merupakan jalan syaithan yang harus kita jauhi sebagai seorang muslim. Oleh sebab itu, manhaj Islam tidak sama dengan manhaj jama’ah